Masalah pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan salah satu program reformasi yang dicetuskan oleh para mahasiswa pada tahun 1998. Dalam kenyataannya tindak pidana korupsi telah membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional dan pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( TPK ) yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan sehingga perlu metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus dengan kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan TPK, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Pemikiran inilah yang melandasi lahirnya Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
Korupsi merupakan penyalahgunaan wewenang yang diperoleh berdasarkan kepercayaan dari pemberi kewenangan. Kewenangan tersebut seharusnya dikelola dan dipertanggungjawabkan dan bukan digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain. Penyalahgunaan kewenangan merupakan bentuk ketidakjujuran dalam melaksanakan tanggung jawab.
Korupsi adalah salah satu bentuk pelanggaran moral dan oleh sebab itu merupakan tanggung jawab moral dari pendidikan nasional untuk memberantasnya. Suatu tantangan bagi dunia pendidikan karena pendidikan mempunyai fungsi menanamkan, mengembangkan, dan melaksanakan nilai rasional, keberaturan, rajin (diligent), dan sikap produktif yang pada gilirannya mampu membawa manusia yang memiliki watak mulia, taqwa kepada Tuhan YME, dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan terhadap sesama. Sebagai proses pembudayaan dan membudaya, pendidikan diharapkan berperan dalam ikut memberantas korupsi yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan antikorupsi.
Jika korupsi merupakan suatu gejala kebudayaan dalam masyarakat Indonesia maka adalah tanggung jawab moral dari pendidikan nasional untuk membenahi pendidikan nasionalnya. Hal menarik yang perlu dicermati adalah bahwa di dalam salah satu laporan badan resmi menunjukkan bahwa Departemen Pendidikan Nasional menempati peringkat ke-2 terkorup di tingkat pemerintahan setelah Departemen Agama pada peringkat pertama dan diikuti Departemen Kesehatan peringkat ke-3 (H.A.R. Tilaar, 2004: 237). Kenyataan ini menunjukkan masih ada celah bagi pemberantasan korupsi melalui sektor pendidikan apabila kita bersungguh-sungguh bertekad memberantas korupsi tidak hanya di tingkat lembaga atau organisasi yang besar tetapi pada tingkat interaktif sesama manusia termasuk di dalam proses belajar pada generasi muda.
Korupsi di Indonesia bagaikan suatu “penyakit” yang sukar disembuhkan dan merupakan suatu fenomena yang kompleks. Untuk memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup hanya dengan melakukan suatu tindakan represif, namun yang lebih mendasar lagi adalah melakukan tindakan preventif atau pencegahan.
Kiranya guru perlu melakukan sebuah upaya atau merumuskan strategi khusus dalam mendidik para siswanya menjadi generasi masa depan yang bebas dari korupsi atau dengan kata lain berperilaku anti korupsi. Sehingga pendidikan yang ada di sekolah tidak hanya berfungsi sebagai transfer pengetahuan semata, tetapi juga mendidik perilaku siswa. Diharapkan bisa menunjukkan hasil positif yaitu penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku anti korupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah proses transformasi budaya
Menurut Arens et al (2012:356), korupsi adalah salah satu jenis fraud. Fraud adalah penipuan yang disengaja dengan maksud mengambil harta atau hak orang atau pihak lain. Fraud terdiri dari kecurangan laporan keuangan dan penggelapan aset. Korupsi dikategorikan sebagai penggelapan aset.
American Institute of Certified Public Accountans (AICPA) dalam Arens et al.(2012:366) telah menyusun pedoman untuk mencegah dan mendeteksi adanya fraud, yaitu:
- Budaya kejujuran dan etika.
- Tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi risiko fraud.
- Komite audit.
- Memberikan contoh atau tone of the top.
- Menciptakan lingkungan kerja yang positif.
- Mendapatkan dan mempromosikan pegawai yang sesuai.
- Memberikan pelatihan.
- Melakukan konfirmasi.
- Membangun disiplin.
Menurut Arens et al. (2012:366-368), terdapat enam elemen yang harus dibangun untuk menciptakan budaya kejujuran dan etika yang bermanfaat untuk mencegah atau mengurangi terjadinya korupsi. Keenam elemen tersebut terdiri dari:
- Pemimpin yang Memberikan Contoh atau Tone at The Top
Salah satu fungsi kepemimpinan adalah memberikan motivasi. Pemberian motivasi yang efektif dapat dilakukan dengan cara memberikan contoh.
Salah satu bentuk contoh yang dapat diberikan pimpinan adalah dengan hidup sederhana. Misalnya, pimpinan tinggal di rumah yang tidak mewah, menggunakan kendaraan dan pakaian yang tidak mewah, berbicara dengan nada yang sederhana. Tentunya pesan yang disampaikan harus didasari kejujuran.
- Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif
Kejahatan biasanya muncul bila didukung oleh kondisi yang kurang baik. Sebaliknya kondisi atau persepsi yang baik tentang lingkungan di sekitarnya akan menghasilkan perbuatan yang baik juga. Seorang pegawai yang mempersepsikan lingkungan kerjanya baik, cenderung akan berperilaku baik dan mendorong kinerja yang baik pula. Kinerja yang baik selanjutnya akan mendapatkan remunerasi yang lebih baik.
Lingkungan kerja yang positif antara lain dapat berupa lingkungan fisik kantor seperti penataan ruangan dan pencahayaan. Lingkungan lainnya adalah hubungan yang saling mendukung sesama pegawai. Hubungan formal dapat ditingkatkan kualitasnya melalui komunikasi informal seperti melakukan olah raga bersama atau wisata bersama.
Lingkungan kerja yang positif ini akan mempermudah pimpinan menerapkan kode perilaku, termasuk perilaku anti korupsi. Contoh anti korupsi yang diberikan oleh pimpinan dan didukung oleh lingkungan kerja yang positif akan memudahkan pegawai untuk berperilaku anti korupsi pada organisasi.
- Mendapatkan dan Mempromosikan Pegawai yang Sesuai
Salah satu prinsip penting dalam manajemen sumber daya manusia adalah “The right man on the right place. Untuk mendapatkan pejabat dan pegawai yang bebas dari korupsi perlu adanya kebijakan skrining (screening) pegawai. Tujuan dari skrining ini adalah mengurangi kemungkinan organisasi mendapatkan/mengangkat atau mempromosikan pejabat atau pegawai yang memiliki tingkat kejujuran yang rendah terutama untuk menduduki posisi yang penting. Kebijakan tersebut dapat meliputi kebijakan tentang penilaian terhadap latar belakang pendidikan, pengalaman, karakter, dan integritas. Setelah pejabat/pegawai tersebut diterima, evalusi dilakukan terhadap kesesuaian antara perilaku dengan nilai organisasi dan ketaatan terhadap kode perilaku.
- Pelatihan
Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan kompetensi pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pelatihan dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu hard skill dan soft skill. Jenis pelatihan yang sesuai untuk pencegahan korupsi adalah soft skill. Bentuk pelatihan lainnya adalah on the job training, coaching, and mentoring.
- Konfirmasi
Setelah pejabat dan pegawai bekerja, secara periodik perlu dilakukan konfirmasi untuk mengingatkan dan menguatkan kembali tentang tanggung jawabnya untuk mematuhi kode perilaku yang sudah ditetapkan. Dalam hal pencegahan korupsi, para pejabat dan pegawai dikonfirmasi tentang pemahaman dan keberhasilan aktualisasi anti korupsi pada tempat mereka bekerja.
- Disiplin
Organisasi perlu meningkatkan disiplin dalam menerapkan kode perilaku. Para pejabat dan pegawai harus memahami tanggung jawab mereka apabila mereka gagal menerapkan kode perilaku. Dalam menegakkan disiplin ini para pejabat dan pegawai perlu diingatkan pentingnya penerapan kode perilaku dengan sungguh-sungguh. Salah satu bagian penting adalah kedisiplinan dalam menerapkan perilaku anti korupsi. Dalam menegakkan disiplin anti korupsi ini, setiap individu pejabat atau pegawai yang terindikasi korupsi harus diinventigasi sampai diketahui pihak yang bertanggung jawab dan disusul dengan pemberian sanksi yang setimpal. Pemberian sanksi ini perlu untuk menunjukkan kesungguhan pimpinan dalam menerapkan budaya kejujuran dan etika untuk mencegah korupsi dalam organisasi.
Sumber : https://hanayatiblog.wordpress.com/
Artikel terkait :